Keutamaan Silaturahmi
Silaturahmi merupakan ibadah yang
sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak
melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan
amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi,
seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi
merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat
menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi
juga merupakan dalil dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.
Silaturahim termasuk akhlak yang
mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak
memutuskannya. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung
tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia. Allah
Ta’ala memperingatkan orang yang memutuskannya dengan laknat dan adzab,
diantara firmanNya,
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ
أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
Artinya: “Maka apakah kiranya
jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan
hubungan kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan
ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS
Muhammad 47:22-23).
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي
تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Artinya: “Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1).
Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alahi
Wasallam ,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang senang
untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka
hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,
Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka
dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”
At Tirmidzi dalam Jami’nya, no.
1865, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 3663 dan Ahmad dalam Musnadnya sebanyak 10
riwayat.
MAKNA KOSA KATA HADITS
- الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
- بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).
- الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
- بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).
FAIDAH HADITS
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.
Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا
جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka apabila telah
datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak
dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).
Jawaban para ulama tentang masalah
ini sangatlah banyak. Di antaranya,
Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan
berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal
yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.
Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat
di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh
Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka
akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan
terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah
makna firman Allah Ta’ala ,
يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
Artinya: “Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar
Ra’d:39).
Demikian ini ditinjau dari ilmu
Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan
tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan
tergambar adanya perpanjangan (usia).
Dan yang ketiga. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji.
Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al
Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam.
[Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu
Qathi’atiha (16/114)]
Demikian pula Syaikhul Islam
berkomentar tentang permasalahan ini dengan pernyataan beliau :
Adapun firman Allah Ta’ala ,
Adapun firman Allah Ta’ala ,
وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ
وَلاَيُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ …..
Arinya: “Dan sekali-kali tidak
diperpanjang umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi
umurnya…… ” (QS Fathir:11).
Bermakna umur manusia tidak akan
diperpanjang, dan tidak pula akan dikurangi. Adapun maksud diperpanjangan dan
pengurangan disini, bermakna dua hal, yaitu :
Pertama. Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur
pendek. Maka pengurangan umur di sini merupakan kekurangannya dibanding yang
lainnya, sebagaimana orang yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain
berumur pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih pendek
dibandingkan yang pertama sebagaimana perpanjangan merupakan tambahan dibanding
yang lainnya.
Kedua. Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur yang
telah ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan
dari umur yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam, beliau bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka
dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”
Sebagian orang berkata, yang
dimaksud adalah barakah dalam umurnya dengan beramal dengan waktu yang singkat
sesuatu yang diamalkan oleh orang lain dalam waktu yang lama. Mereka beralasan,
karena rizki dan ajal telah ditakdirkan dan ditentukan. Maka dikatakan kepada
mereka, bahwa barakah tadi bermakna tambahan dalam amal dan manfaat. Padahal
hal tersebut juga telah ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut meliputi semua
hal.
Jawaban yang benar ialah : Bahwa
Allah telah menetapkan ajal hamba dalam catatan malaikat. Apabila ia menyambung
silaturahim, maka akan ditambahkan pada apa yang tertulis dalam catatan
malaikat tersebut. Jika ia melakukan amalan yang menyebabkan umurnya berkurang,
maka akan dikurangkan dari apa yang telah tertulis tersebut. Pandangan ini
berdasarkan apa yang ada dalam Sunan Tirmidzi dan lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam , beliau bersabda,
أَنَّ آدم لَمَّا طَلَبَ مِنَ اللهِ
أَنْ يُرَيَهُ صُوْرَةَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَتِهِ فَأَرَاهُ إِيَاهُمْ
فَرَأَى فِيْهِمْ رَجُلاً لَهُ بَصِيْصٌ فَقَالَ مَنْ هَذَا يَا رَبِّ؟ فَقَالَ
ابْنُكَ دَاوُد فَقَالَ فَكَمْ عُمْرُهُ؟ قَالََ أَرْبَعِوْنَ سَنَةً قَالَ وَكَمْ
عُمْرِيْ ؟ قَالَ أَلْفُ سَنَةٍ قَالَ فَقَدْ وَهَبْتُ لَهُ مِنْ عُمْرِي سِتِّينَ
سَنَةً فَكَتَبَ عَلَيْهِ كِتَابٌ وَشَهِدَتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ فَلَمَّا
حَضَرَتِ الْوَفَاةُ قَالَ قَدْ بَقِيَ مِنْ عُمْرِي سِتُُّوْنَ سَنَةً قَالُوْا
قَدْ وَهَبْتَهَا لإِبْنِكَ دَاوُدَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَأَخْرَجُوْا الْكِتَابَ
قَالَ النَّبِيِّ : فنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهَُوَجَحَدَ آدَمُ
فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ
Artinya: “Sesungguhnya Adam
ketika meminta kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya wajah-wajah para nabi
dari keturunannya, maka Allah pun memperlihatkannya. Kemudian dia melihat
seorang laki-laki yang memiliki cahaya. Adam bertanya,”Ya Rabbi, siapakah ini?”
Allah menjawab,”Anakmu, Daud.” Lalu beliau bertanya lagi,”Berapa umurnya?”
Dijawab,”Umurnya 40 tahun” , beliau bertanya lagi,”Berapa umur saya?”
Dijawab,”Seribu tahun”, Adam berkata,”Saya berikan enam puluh tahun umur saya
kepadanya.” Maka ditulis atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh malaikat.
Sehingga ketika akan meninggal dia berkata,”Umur saya masih tersisa enam puluh
tahun.” Malaikat menjawab,”Kamu telah memberikannya kepada anakmu Daud.” Lalu
Adam mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab tadi. Nabi Shallallahu’Alaihi
Wasallam bersabda, “Adam telah lupa, maka anak keturunannya pun (punya sifat)
lupa. Dan Adam telah mengingkari, maka anak keturunannya pun (punya sifat)
mengingkari.” ” [Riwayat Tirmidzi dalam tafsir Surat Al A’raf dan dia
berkata,”Hadits ini hasan gharib dari jalan ini (11/196). Berkata Al Arnauth
dalam Jami’ul Ushul (2/141). Diriwayatkan oleh Al Hakim, dan beliau
menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Albani
menshahihkannya dalam Shahihul Jami' No. 5209]
Dan telah diriwayatkan, bahwa umur
Adam disempurnakan. Demikian juga umur Daud telah ditetapkan empat puluh tahun,
kemudian ditambah*) enam puluh tahun. Inilah makna perkataan Umar,”Ya Allah
jika Engkau telah menulis, bahwa saya termasuk orang yang sengsara, maka
hapuslah dan tulis saya sebagai orang yang berbahagia, karena Engkau menghapus
apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan (apa yang Engkau kehendaki).” Allah
telah mengetahui apa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang belum
terjadi, dan seandainya terjadi bagaimana cara terjadinya. Allah mengetahui apa
yang telah ditulis bagi seorang hamba, dan apa yang akan ditambahkan kepadanya.
Sedangkan para malaikat tidak mengetahui, kecuali apa yang telah Allah
beritahukan kepada mereka. Allah mengetahui segala sesuatu sebelum dan sesudah
terjadinya. Oleh karena itu para ulama mengatakan, bahwa penghapusan dan
penetapan itu terjadi pada catatan malaikat. Adapun ilmu Allah, maka tidak akan
berbeda dan tidak ada yang baru yang belum diketahuinya. Sehingga tidak ada
penghapusan dan penetapan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (14/490)]
[*) Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena Adam as telah memberikan kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelaslah makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ,
[*) Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena Adam as telah memberikan kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]
Berkata di tempat lain :
Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelaslah makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang suka
dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturrahim.”
Karena Allah memerintahkan malaikat
untuk menulis ajal seseorang, kemudian berfirman (yang artinya),“Apabila dia
menyambungkan silaturahmi, maka tambah sekian dan sekian.” Dan malaikat
tidak mengetahui, apakah akan ditambahkan ataukah tidak. Sedangkan Allah
mengetahui apa yang akan terjadi. Sehingga apabila datang waktunya, maka tidak
bisa dimajukan ataupun dimundurkan.[Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
(8/517)]
Ibnu Hajar Rahimahullah
menjawab permasalahan ini, ”Berkata Ibnu Tin, ‘Secara lahiriah, hadits ini
bertentangan dengan firman Allah,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا
جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
Artinya: “Maka apabila telah
datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan
tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf:34).
Untuk mancari titik temu kedua dalil
tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama, tambahan (umur) yang
dimaksud yaitu kinayah dari usia yang diberi berkah, karena mendapat taufiq
(kemudahan) menjalankan ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang
bermanfaat di akhirat, serta menjaga waktunya dari kesia-siaan. Hal ini seperti
sabda Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam , bahwa umur umat ini lebih
pendek dibandingkan umur umat-umat yang terdahulu. Tetapi kemudian Allah
menganugerahi lailatul qadar (malam qadar).
Kesimpulannya, silaturahim dapat
menjadi sebab mendapatkan taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan dan menjaga
dari kemaksiatan. Sehingga namanya akan tetap dikenang. Seolah-olah seseorang
itu tidak pernah mati. Dan di antara hal yang bisa mendatangkan taufiq, yaitu
ilmu yang bermanfaat bagi orang setelahnya, shadaqah jariyah dan anak keturunan
yang shalih.
Kedua, tambahan itu secara hakikat
atau sesungguhnya. Hal itu berkaitan dengan ilmu malaikat yang diberi tugas
mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat pertama di atas, maka
hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Ta’ala . Umpamanya dikatakan kepada
malaikat, umur si fulan 100 tahun jika ia menyambung silaturahmi, dan 60 tahun
jika ia memutuskannya.
Dalam ilmu Allah telah diketahui,
bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturahim, maka yang ada
dalam ilmu Allah tidak akan maju atau mundur, sedangkan yang ada dalam ilmu
malaikat itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Demikianlah yang
diisyaratkan oleh firman Allah,
يَمْحُو اللهُ مَايَشآءُ وَيُثْبِتُ
وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya: “Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah
tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS Ar Ra’d:39).
Jadi, yang dimaksud dengan
menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu ialah yang ada dalam ilmu malaikat.
Adapun yang ada di Lauh Mahfuzh itu, merupakan ilmu Allah yang tidak akan ada
penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al qadha
al mubram (takdir atau putusan yang pasti). Sedangkan yang pertama (ilmu
malaikat) disebut al qadha al mu’allaq (takdir atau putusan yang masih
menggantung).
Yang pertama tampak lebih cocok
dengan lafadz hadits di atas. Karena al atsar ialah sesuatu yang
mengikuti yang lain. Apabila diakhirkan, maka menjadi baik untuk membawanya
kepada keharuman nama setelah meninggalnya. Ath Thibbi berkata, ”Jalan yang
pertama lebih jelas…” [Fathul Bari, Kitabul Adab, bab Man
Busitha Lahu Fir Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429)]
Berdasarkan nukilan ini, jelaslah,
bahwa para ulama Rahimahumullah mempunyai tiga pendapat dalam
menafsirkan penambahan umur. Pendapat pertama, barakah. Pendapat kedua,
perpanjangan hakiki atau sesungguhnya. Pendapat ketiga, keharuman nama setelah
meninggalnya.
Akhirnya, inti yang wajib kita
jadikan jalan keluar dari perselisihan makna memanjangkan umur baik bermakna
hakikat ataupun majaz (kiasan), yaitu memperpanjang umur tersebut dengan
menggunakan dan menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun
seseorang yang panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk
sejelek-jelek orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahu’anhu.
Keutamaan inipun dikuatkan dengan
hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, yang berbunyi,
صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيْدُ الْعُمُرَ
Artinya: “Silaturahim bisa
menambah umur.” [Dikeluarkan oleh Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab
dan dihasankan oleh Al Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al Albani
menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]
Keutamaan silaturahmi yang lainnya,
dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam banyak hadits.
Diantaranya ialah :
Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman.
Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam
hadits Abu Hurairh, beliau bersabda,
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.” (Mutafaqun
‘alaihi).
Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala .
Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam ,
خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا
فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ
قَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ
قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ
Artinya: “Allah menciptakan
makhlukNya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,”Ini
tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab,
“Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang
yang memutusmu?” Dia menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun ‘alaihi).
Ibnu Abi Jamrah berkata,“Kata ‘Allah
menyambung’, adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah
kepadanya.”
Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan
perkataan ulama dalam uraian beliau,“Para ulama berkata, ‘hakikat shilah adalah
kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata ‘Allah menyambung’ adalah
ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih
Muslim 16/328-329]
Ketiga. Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk syurga
dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi
Wasallam,
<="" p="">
Artinya: “Dari Abu Ayub Al
Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya
satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab,“Menyembah Allah dan tidak
menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahmi.””
(Diriwayatkan oleh Jama’ah).
Silaturahmi adalah ketaatan dan
amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala, serta tanda takutnya
seorang hamba kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.”
(QS Arra’d 13:21).
Demikianlah sebagian keutamaan
silaturahim. Tentunya tidak seorangpun dari kita yang ingin melewatkan
keutamaan ini. Apalagi bila melihat akibat buruk dan adzab pedih yang Allah
Ta’ala siapkan bagi orang yang memutus tali silaturahim. Karenanya, orang-orang
shalih dari pendahulu umat ini membiasakan diri menyambung silaturahim,
walaupun sulit sarana komunikasi pada jaman mereka. Sedangkan pada zaman
sekarang ini, dengan tercukupinya sarana transportasi dan komunikasi,
semestinya membuat kita lebih aktif melakukan silaturahim. Kemudahan yang Allah
Ta’ala berikan kepada kita tersebut, hendaknya dipergunakan untuk silaturahim.
Mungkin salah seorang dari kita melakukan perjalanan ke negeri yang jauh untuk
wisata, akan tetapi dia merasa berat untuk mengunjungi salah seorang kerabatnya
yang masih satu kota dengannya -kalau tidak saya katakan satu daerah dengannya-
padahal paling tidak hubungan tersebut dapat dilakukan dengan hanya mengucapkan
salam. Apa beratnya mempergunakan telepon untuk menghubungi salah satu kerabat
kita dan mengucapkan salam kepadanya?
Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu
meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
بَلُوْا أَرحَامَكُمْ وَلَوْ
بِالسَّلاَمِ
Artinya: “Sambunglah keluargamu
meskipun dengan salam.” [Riwayat Al Bazzar, Ath Thabrani dan Al Baihaqi.
Berkata Al Munawi dalam Faidhul Qadir, “Berkata Al-Bukhari,’Semua jalannya
dha’if, akan tetapi saling menguatkan (3/207)’.” Al Albani menghasankannya
dalam Shahihul Jami' no. 2838]
Mungkin ada yang mengatakan, di
antara penyebab terputusnya silaturahmi ialah banyaknya kesibukan manusia pada
hari ini dan keluasan wilayah. Tetapi orang yang memperhatikan keadaan semisal
Abu Bakar dan Umar Al Faruq Radhiyallahu’anhuma . Pada masa
pemerintahannya, meskipun banyak beban yang harus dipikul di pundak mereka dan
belum lengkapnya sarana transformasi dan komunikasi modern, akan tetapi mereka
tetap memiliki waktu untuk mengunjungi kerabatnya dan membantu tetangganya.
Sedangkan diri kita sering mengunjugi dan bercengkrama dengan sahabat-sahabat,
tetapi tidak pernah memasukkan ke dalam agenda kegiatan untuk berkunjung ke
salah satu kerabat, meskipun satu kali dalam sebulan.
Tampaknya sebab utama yang
menghalangi kita bersilaturahim, karena buruknya pengaturan dan manajemen
waktu. Atau karena kita kurang begitu mengerti besarnya dosa memutus
silaturahim. Kemudian dengan kesibukan yang berlebihan dalam kehidupan dunia,.
hingga kita mendapati seseorang bekerja pada pagi hari. Setelah itu menyibukkan
diri dengan pekerjaan lain pada sisa harinya. Padahal sudah berkecukupan dalam
hal rizki. Lantas, mengabaikan hak-hak keluarga, anak-anak, kedua orang tua dan
kerabatnya.
Maka sepatutnyalah engkau, wahai
saudaraku muslim. Hendaklah bersemangat memanjangkan umurmu dengan
bersilaturahim. Ketahuilah, barangsiapa yang menyambungnya, niscaya Allah
Ta’ala akan berhubungan dengannya. Dan barangsiapa memutuskannya, maka Allah
pun akan memutuskan hubungan dengannya. [Untuk tambahan, lihat kitab Al Adab
Asy Syar’iyyah Wal Minah Al Mur’iyyah, oleh Ibnu Muflih, Juz 1 dan kitab Shilaturrahim
Fadluha Ahkamuha Itsmu Qathi’iha, oleh Syaikh Muhammad Thabl dan Ibrahim
Muhammad]
Mudah-mudahan risalah ini dapat
mendorong kita semua untuk bersilaturahmi.
Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.
0 Response to "Keutamaan Silaturahmi "
Posting Komentar